Powered By Blogger

Minggu, 10 Januari 2010

PERANG KETUPAT

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa memiliki beragam kebudayaan. Salah satunya terdapat di Desa Tempilang Kecamatan Tempilang Kabupaten Bangka Barat Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Di desa yang berpenduduk mayoritas pemeluk agama Islam ini, secara turun-temurun setiap tahun dilaksanakan upacara tradisional Perang Ketupat pada pertengahan bulan Sya’ban.

Menurut cerita nenek moyang, upacara tradisional ini berasal dari zaman Urang Lom, yaitu suatu masa masyarakatnya belum mengenal agama.

Penulisan buku ini semata-mata dilakukan untuk mendokumentasikan kebudayaan yang masih terus hidup dan berkembang di desa Tempilang. Tanpa maksud untuk melestarikan jenis kepercayaan tertentu yang sekiranya bertentangan dengan akidah.

Tentu saja tulisan ini masih banyak mengandung kelemahan dan mengundang perdebatan. Oleh karena itu saran dan kritik konstruktif dari para pembaca sangat diharapkan.


I. PROFIL DESA TEMPILANG
Desa Tempilang terletak di bagian Barat Daya Pulau Bangka, berjarak sekitar 70 km dari kota Pangkalpinang, ibukota Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Wilayah Desa Tempilang seluas 107,95 km2 atau 23,98% dari luas wilayah kecamatan Tempilang. Jumlah penduduk Desa Tempilang sebanyak 11.664 jiwa, terdiri dari 5.719 (49,03%) laki-laki, dan 5.945 (50,97%) perempuan. Mata pencaharian masyarakat Desa Tempilang pada umumnya sebagai nelayan tradisional, petani, dan buruh tani Perkebunan Kelapa Sawit.

II.TEMPILANG DESA WALET
Desa Tempilang dikaruniai pantai yang indah dengan hamparan pasir berwarna kuning, sehingga dinamakan pantai “Pasir Kuning”.

Di samping itu Desa Tempilang juga dikenal sebagai desa walet karena banyaknya burung walet bersarang di desa ini.

Di pusat Desa Tempilang banyak dibangun gedung-gedung tinggi untuk tempat bersarang burung walet.
Sesuai kandungan potensi alam tersebut, Desa Tempilang dijuluki juga sebagai Desa “WALET”, singkatan dari Wisata Alam Lestari Elok dan Tertib.

III. UPACARA TRADISIONAL
Sejalan dengan kehidupan masyarakat Desa Tempilang sebagai nelayan dan petani, setiap tahun dilaksanakan upacara tradisional “Taber Kampung” pada pertengahan bulan Sya’ban tahun Hijriyah. Upacara ini terdiri dari lima tahapan.

Pertama, Penimbongan, yaitu pemberian makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bermukim di darat.

Kedua, Ngancak, yaitu pemberian makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bermukim di laut.

Ketiga, Perang Ketupat, yakni kegiatan simbolis untuk memerangi kejahatan makhluk halus yang mengganggu aktivitas warga masyarakat, baik di darat maupun di laut. Acara ini merupakan puncak kegiatan, yang mengundang puluhan ribu penonton dari berbagai pelosok Pulau Bangka.

Keempat, Nganyot Perae (menghanyutkan perahu). Kegiatan menghanyutkan sebuah perahu kecil, sebagai simbol memulangkan tamu-tamu makhluk halus yang datang dari luar Desa Tempilang.

Kelima, Taber Kampung, sebagai penutup seluruh proses upacara. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk membuang tasak besek (penyakit kulit) dan buyung sumbang (perzinahan). Para petugas taber berkeliling kampung dari rumah ke rumah melakukan penaberan terhadap bangunan dan para penghuninya. Bagi yang percaya, ada juga penghuni rumah yang meminta perlengkapan taber, seperti air taber dan bunga pinang (alat untuk menaber) untuk digantung di atas pintu rumah, dengan harapan rumahnya terhindar dari bencana selama setahun ke depan.

IV. PERSIAPAN MASYARAKAT
Dalam menyambut upacara “Perang Ketupat”, yang bersamaan waktunya dengan “Sedekah Ruwah”, masyarakat Tempilang melakukan berbagai persiapan.

Sehari sebelum "Perang Ketupat" dimulai, panitia dan masyarakat memasang umbul-umbul di perbatasan desa. Di antara umbul-umbul tersebut ada juga berasal dari sponsor.

Bahkan lebih dari sebulan sebelumnya kabar tentang akan dilaksanakannya "Perang Ketupat" ini telah tersiar di berbagai pelosok Pulau Bangka, melalui radio dan media cetak, serta berita dari mulut ke mulut.Untuk acara “Sedekah Ruwah” sendiri, masyarakat Desa Tempilang merayakannya lebih meriah daripada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, karena pada hari itu para kerabat yang merantau ke luar desa banyak yang pulang untuk bersilaturahmi dengan keluarga di Desa Tempilang, sekaligus berziarah kubur para leluhur.

V. PERSIAPAN UPACARA
Sebelum upacara dilaksanakan, para dukun menyiapkan perlengkapan upacara, terdiri dari penimbong (rumah-rumahan terbuat dari kayu Mentangor), perlengkapan ngancak, dan batu taber.

Pembuatan perlengkapan upacara dipusatkan di rumah salah seorang anggota panitia "Perang Ketupat", sekitar 500 meter dari pantai Pasir Kuning.


Salah seorang dukun kampung bernama Keman, menyiapkan bahan-bahan “batu taber”, terdiri dari mata bonglai, mata kunyet, mata cekor, dan mata tebu item, serta daun karamuse.

Bahan-bahan tersebut kemudian ditumbuk sampai halus. Selanjutnya dicampur dengan tepung beras yang sudah disiapkan sebelumnya.

Berikutnya dukun Keman menyiapkan perlengkapan “Ngancak”, berupa: rokok daun nipah dan bahan nyirih.

Dukun Keman juga membuat bertih, dengan cara mengirau padi. Mengirau dalam bahasa Desa Tempilang berarti menggoreng tanpa minyak. Alat untuk mengirau padi ini agak unik, yakni daun kedebik, agar butiran padi tidak berhamburan.

Sementara itu dukun lainnya, yakni Wak Jiku (Sihasan) menyiapkan bubur mirah dan bubur puteh.

A. Tamsin, salah seorang dukun laut, membuat buk pulot (nasi ketan) dan menyiapkan telur rebus.

Dukun Samin, dukun laut lainnya, membuat ketiping mirah dan ketiping puteh, masing-masing sebanyak empat buah. Ketiping ini terbuat dari tepung terigu dicampur air secukupnya. Untuk ketiping mirah, ditambah dengan gula kabung.

VI. PERLENGKAPAN NGANCAK
Bahan-bahan “Ngancak” yang telah selesai disiapkan, disusun dalam dulang.
Perlengkapan “Ngancak” ini terdiri dari:
1. Ayam panggang: 1 ekor;
2. Buk pulot (nasi ketan): 2 piring;
3. Telur rebus: 2 butir;
4. Bubur mirah dan bubur puteh: 1 piring;
5. Kopi susu: 1 gelas;
6. Teh manis: 1 gelas;
7. Kopi pahit: 1 gelas;
8. Rokok daun nipah: 4 batang;
9. Pinang kering: 4 buah;
10. Ketiping mirah dan ketiping puteh: 4 buah;
11. Gula kabung: 4 keping;
12. Lilin putih: 4 buah;
13. Pisang ambon dan pisang rejang: 3 sisir;
14. Kemenyan: 1 potong; dan
15. Bertih padi: 1 piring.
Perlengkapan Ngancak
VII. TARIAN CAMPAK
Pada malam hari dilaksanakan upacara penimbongan. Kegiatan ini di pusatkan di halaman rumah salah seorang anggota panitia, di sekitar kawasan pantai Pasir Kuning.
Sebelum penimbongan, terlebih dahulu digelar tarian Campak untuk mengasuh batu taber.

Tarian Campak biasa dilakukan secara berpasang-pasangan. Sambil menari, para penari menyanyikan lirik pantun bersahut-sahutan. Keterampilan merangkai bait pantun secara spontan sangat menentukan kelancaran aliran gerak tari Campak. Tarian ini diiringi alat musik sederhana: sebuah biola, gong, dan beberapa buah gendang. Para pemain musik kadang-kadang juga bertindak sebagai penari.

Dulu, tarian ini sering digelar untuk menghibur masyarakat pada acara-acara perkawinan, peringatan hari-hari besar nasional, dan sebagainya. Namun kini tarian Campak nyaris tergilas budaya modern.
Tari Campak
VIII. PENIMBONGAN
Kegiatan penimbongan segera dilaksanakan. Para panitia dan dukun menyiapkan segala perlengkapan penimbongan.
Sesaji yang akan digunakan juga sebagai perlengkapan Ngancak ditaruh di atas penimbong.

Para dukun bersiap-siap untuk melakukan pemanggilan makhluk-makhluk halus penghuni wilayah darat untuk diberikan makanan.

Tiga orang dukun secara bergantian membacakan mantra-mantra. Mereka memanggil makhluk-makhluk halus penghuni wilayah darat, antara lain: Akek Simpai, Akek Sekerincing Besi, Akek Bejanggut Kawat, Putri Urai Emas, Putri Lepek Panden, dan Datuk Segenter Alam yang bermukim di Gunung Panden; serta Sumedang Jati Suara dan Akek Kebudin, penghuni Gunung Maras. Makhluk-makhluk halus ini, menurut para dukun, termasuk makhluk halus yang baik-baik. ‘Mereka’ ini dipercaya sebagai penjaga kampung terhadap serangan makhluk jahat dari luar Desa Tempilang.

IX. TARI SERIMBANG
Makhluk-makhluk halus yang dianggap sedang ‘menyantap’ hidangan, dihibur dengan tarian Serimbang. Enam orang gadis cantik dengan gerak gemulai mengelilingi arena penimbongan, diiringi lagu Timang Burong.

Tarian Serimbang berasal dari kata ‘sri’ dan ‘tembang’. Sri artinya permaisuri atau raja; tembang artinya irama. Jadi Serimbang berarti gerakan yang indah dipersembahkan kepada raja atau tamu agung.

Sedangkan lagu Timang Burong berasal dari kata ‘timang’ dan ‘burong’. Timang berarti gerakan yang disertai alunan kasih sayang. Burong berarti burung. Jadi ‘Timang Burong’ berarti alunan hati nurani rakyat yang indah dalam menghormati kedatangan raja atau tamu agung.

Tari Serimbang digunakan untuk menyambut kedatangan tamu agung/pembesar negara yang berkunjung ke Desa Tempilang, dan juga untuk mengasuh taber.

Tarian ini mengisahkan seekor burung malam yang hinggap di atas sebatang pohon dekat rumah penduduk, pada suatu siang yang cerah. Kemudian datang burung-burung lainnya mengerumuni dan mengelilingi burung malam tersebut dengan mengepak-ngepakkan sayapnya serta kepala menunduk terkadang tegak diiringi oleh suara hiruk pikuk yang beraneka ragam bunyinya, seakan-akan bergembira menyambut kedatangan burung malam tersebut.

Oleh masyarakat Tempilang, burung malam yang dikenal juga sebagai burung hantu itu diumpamakan dewi sri, yaitu tamu agung.

X. TARI KEDIDI
Selesai tarian Serimbang, upacara penimbongan dilanjutkan dengan tarian Kedidi oleh dua orang dukun. Dalam tarian Kedidi diperagakan gerakan silat menirukan gerakan burung kedidi.

Tarian Kedidi diilhami oleh gerakan sekawanan burung kedidi yang sedang bermain di pinggir pantai. Tarian ini mengisahkan dua orang bersaudara yang sedang beristirahat dalam perjalanan merantau tertarik pada gerak-gerik burung-burung kedidi yang sedang bercanda. Kemudian keduanya memasukkan gerakan burung kedidi tersebut ke dalam jurus-jurus silat yang mereka miliki selama ini. Akulturasi gerak burung kedidi ini menghasilkan jurus-jurus silat baru yang mempesona. Dalam pertandingan silat di suatu kerajaan yang mereka singgahi, gerakan silat yang kemudian dikenal sebagai tarian Kedidi ini telah mengantarkan mereka sebagai pemenang.

Tarian ini mengajarkan kepada kita, bahwa suatu kemenangan atau keberhasilan berawal dari gagasan-gagasan inovatif. Keberanian kedua orang kakak beradik tersebut mengkombinasikan gerakan-gerakan burung kedidi, tanpa harus membuang habis jurus-jurus silat yang sudah ada, ternyata dapat menghasilkan produk baru yang lebih efektif dan produktif.

XI. TARI SERAMO
Upacara penimbongan ditutup dengan tarian Seramo. Tarian ini menggambarkan pertempuran habis-habisan antara kebenaran melawan kejahatan.

Pada tarian yang berlangsung sangat melelahkan itu tergambar betapa sulitnya berjuang melawan kejahatan. Melalui berbagai bentuknya yang menjelma dalam kehidupan manusia, kekuatan kejahatan sering kali tampak lebih dominan daripada kebaikan. Bahkan pada kasus-kasus tertentu kebaikan mengalami kekalahan atau harus dikalahkan demi kepentingan pribadi dan atau golongan.

Dalam tarian Seramo kali ini, kebaikan yang diperankan oleh dukun Keman tidak berhasil mengalahkan kejahatan yang diperankan oleh salah seorang pesilat. Pada akhir tarian tampak kedua kubu sama-sama kuat. Rekonsiliasi para pihak yang bertikai mengakhiri tarian Seramo sekaligus menyelesaikan upacara penimbongan.

XII. NGANCAK
Ngancak adalah pemberian makanan kepada makhluk-makhluk halus yang bermukim di laut, terutama siluman buaya.

Kegiatan ini dilakukan menjelang tengah malam, bertempat di Tanjung Raya. Sekitar pukul setengah sebelas malam Rombongan dukun, terdiri dari dua orang dukun laut dan satu orang dukun darat berangkat dari tempat penimbongan menuju batu taber di Tanjung Raya.
Sinar bulan samar-samar mengiringi rombongan dukun menyusuri jalan setapak dan mendaki bukit batu terjal.

Deburan ombak berpacu susul-menyusul menampar bebatuan, seolah bersorak menyambut rombongan dukun yang sedang sibuk mempersiapkan perlengkapan ngancak.

Dengan diterangi empat batang lilin para dukun menata hidangan, seperti pada saat penimbongan.

Pada upacara ngancak ini dukun laut bernama A. Tamsin yang memimpin. Dukun ini memulai membacakan mantra-mantra untuk memanggil makhluk halus penghuni laut. Menurut A. Tamsin nama-nama makhluk laut yang dipanggil tidak boleh dipublikasikan, karena dikhawatirkan akan dipanggil oleh orang-orang yang berniat jahat.

Kegiatan ngancak ini dilakukan dengan tujuan agar makhluk-makhluk halus tersebut tetap setia menjaga wilayah perairan Desa Tempilang terhadap gangguan makhluk laut dari luar desa, sehingga para nelayan Desa Tempilang aman melaksanakan aktivitas di laut.

Setiap jenis makanan dimantrai, terutama makanan yang paling disukai siluman buaya, yakni buk pulot, telur rebus, dan pisang rejang. Pemberian mantra pada setiap jenis makanan dilakukan sambil memutar-mutar makanan itu di atas asap kemenyan. Kedua orang dukun laut melakukannya bergantian.

Setelah selesai memantrai makanan oleh dukun laut, dukun darat memantrai air taber yang akan digunakan untuk menaber laut.

Selanjutnya ketiga orang dukun menuruni tangga batu menuju ke arah laut. Dua orang dukun laut melepaskan buk pulot, pisang rejang dan beras kunyit ke laut. Sedangkan dukun darat melakukan penaberan laut, dengan cara memercikkan air taber menggunakan bunga pinang ke air laut.
Acara ngancak selesai menjelang pukul dua belas malam.

XIII. PERANG KETUPAT
Keesokan harinya, saat yang ditunggu-tunggu tiba, yaitu "Perang Ketupat". Sejak pagi hari Puluhan ribu warga, baik dari Desa Tempilang sendiri maupun berasal dari seluruh pelosok Pulau Bangka, berbondong-bondong menuju pantai Pasir Kuning.

Meskipun demikian acara Perang Ketupat baru akan dimulai setelah Bupati Bangka sebagai orang yang paling dihormati di Kabupaten Bangka berada di lokasi upacara.
Kehadiran Bupati Bangka, Eko Maulana Ali, disambut warga dengan suka cita. Tahun ini selain Bupati, hadir pula Ketua DPRD Propinsi Kepulauan Bangka Belitung, Emron Pangkapi.

Setelah mendengar pengarahan Bupati Bangka, "Perang Ketupat" segera berkobar.
Pasukan dibagi dua kelompok. Masing-masing satu kelompok mewakili wilayah darat dan kelompok lainnya mewakili wilayah laut.

Di tengah arena disediakan ‘senjata’ berupa ratusan buah ketupat. Masing-masing anggota kelompok bebas merebut ketupat yang tersedia.

Peperangan dimulai dengan diawali dukun darat ‘menembak’ dukun laut. Setelah kedua dukun memberi aba-aba perang dimulai, masing-masing anggota kelompok menyerbu tumpukan ketupat untuk melempar pihak lawan.

Pertempuran sengit tak terhindarkan. Peperangan yang berlangsung hanya sekitar dua menit ini dilaksanakan untuk memerangi makhluk-makhluk halus yang jahat dan suka mengganggu masyarakat.

"Perang Ketupat" yang selalu dilaksanakan secara turun temurun di Desa Tempilang ini tidak diketahui secara pasti saat pertama kali diadakan. Namun dari cerita nenek moyang, pada saat gunung Karakatau di Selat Sunda meletus tahun 1883 upacara tradisional "Perang Ketupat" sudah ada.

Upacara ini terjadi pada zaman ‘Urang Lom’, yaitu suatu zaman orang-orangnya belum mengenal agama.

Pada awalnya "Perang Ketupat" dilakukan menggunakan ubi Gadong, sejenis ubi jalar, bahan makanan penduduk pada waktu itu. Dulu ubi Gadong banyak terdapat di sepanjang jalan menuju pantai Pasir Kuning, sehingga tempat itu dinamakan Tanjung Gadung.

XIV. NGANYOT PERAE (Menghanyutkan Perahu)
Selesai "Perang Ketupat" upacara tradisional ini dilanjutkan dengan Nganyot Perae atau menghanyutkan perahu.

Sebuah perahu kecil berisi bahan makanan, seperti ketupat dan lauk-pauk, dihanyutkan dukun ke laut. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memulangkan tamu-tamu makhluk halus yang datang ke Desa Tempilang, terutama yang bermaksud jahat, agar tidak mengganggu masyarakat.

XV. PANTANGAN PASCA PERANG KETUPAT
Selesai rangkaian upacara "Perang Ketupat", tokoh adat Tempilang mengumumkan pantangan-patangan bagi seluruh masyakat yang tinggal di Desa Tempilang selama tiga hari ke depan.
A. Pantangan di darat:
1. Berkelahi dalam rumah tangga;
2. Berkerubung kain sarung (betukoi sangkot) di tengah kampung;
3. Menjemur kain di pagar;
4. Bersiul;
Bagi masyarakat yang melanggar pantangan akan dikenakan sanksi oleh dukun darat, yaitu membayar uang 40 ringgit dan satu dulang kue.

B. Pantangan di laut:
1. Menangkap ikan laut dengan cara apapun;
2. Mencuci panci/kuali di sungai/laut;
3. Mencuci perlengkapan orang melahirkan di sungai/laut;
4. Bejuntai kaki di sungai/laut;
5. Memukul kain ke air;
6. Mencuci daging ayam di air sungai/laut;
7. Mencuci kelambu di sungai/laut.
Bagi yang melanggar pantangan ini dikenakan sanksi oleh dukun laut, berupa kewajiban membayar denda 12 ringgit serta bubur merah dan bubur putih sebanyak 40 dulang. Selain itu diyakini juga alam akan menghukumnya dalam bentuk kecelakaan di laut.

Senin, Desember 3

Kebudayaan sebagai Tuntunan dan Tontonan

Membicarakan masalah kebudayaan selalu mengandung dan mengundang polemik. Karena jangkauannya yang begitu luas, setiap pendapat baik mengenai esensi maupun instansi yang mengurus kebudayaan tidak pernah memuaskan semua pihak. Tetapi semua orang sepakat bahwa tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya.

Kebudayaan merupakan sederetan sistem pengetahuan yang dimiliki bersama, perangai-perangai, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, peraturan-peraturan, dan simbol-simbol yang berkaitan dengan tujuan seluruh anggota masyarakat yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai “semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat”.

Dipandang dari wujudnya, menurut Koentjaraningrat, kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, yaitu (1) wujud sebagai suatu kompleks gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan-peraturan; (2) wujud sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan (3) wujud sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kenyataan kehidupan masyarakat tak terpisah satu dengan lainnya. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide maupun tindakan dan karya manusia menghasilkan benda-benda kebudayaan fisik. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatan dan cara berpikirnya.

Sedangkan bila dikaji dari segi unsurnya, setiap kebudayaan memiliki tujuh unsur pokok, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebudayaan adalah nilai-nilai dan gagasan vital yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Kalau demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan negara seolah-olah cukup dilaksanakan oleh satu Departemen Kebudayaan saja. Tetapi karena luasnya cakupan urusan kebudayaan itu, dalam kenyataannya tidak mungkin demikian. Urusan ekonomi, politik, pendidikan, agama, dan sebagainya dilaksanakan oleh departemen tersendiri. Direktorat Jenderal Kebudayaan sendiri, baik ketika tergabung dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan maupun dalam Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, hanya mengurus masalah-masalah kesenian, nilai budaya, sejarah, dan kepurbakalaan.

Selama ini instansi yang mengurus kebudayaan sering dianggap sebagai “Dinas Pengeluaran” saja dan dirasakan sangat membebani anggaran daerah. Hasil kerja instansi kebudayaan seringkali hanya berfungsi sebagai “arsip”, tidak dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat.

Program-program kesenian belum menumbuhkan kreativitas dan kemandirian. Khususnya di Kepulauan Bangka Belitung, para seniman sering tergantung dari bantuan pemerintah. Banyak seniman merasa bangga ketika proposalnya untuk aktivitas kesenian dikabulkan Pemerintah Daerah (Pemda). Hampir setiap tahun Pemda mengirimkan kontingen kesenian ke luar negeri dengan membebani APBD. Langkah ini baru menghasilkan seniman-seniman proposal, bukan seniman profesional.

Berbeda dengan seniman Bali dan Jawa, seperti Sardono W. Kusumo, Jaduk Ferianto, dan lain-lain misalnya, mereka melawat ke Eropa, Amerika dan sebagainya atas biaya pihak pengundang karena karya-karya mereka dianggap bernilai tinggi.
Sebenarnya semua orang sepakat bahwa kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Hasil karya masyarakat, yang menimbulkan teknologi mempunyai kegunaan utama dalam melindungi masyarakat terhadap lingkungan alamnya. Hasil rasa, berupa norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan sangat perlu untuk mewujudkan tata tertib dalam pergaulan kemasyarakatan. Sedangkan hasil cipta berguna untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan keinginan kepada orang lain, berupa misalnya filsafat, ilmu pengetahuan, kesenian, kesusastraan, dan sebagainya.

Sebagai sebuah sistem, kebudayaan tidak pernah berhenti. Ia senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan, baik karena dorongan-dorongan dari dalam maupun dorongan dari luar. Interaksi antara komponen-komponen budaya dapat melahirkan bentuk-bentuk simbol baru. Oleh karena itu tidak mungkin kebudayaan lama dapat dipertahankan secara mutlak dan murni seluruhnya, baik kebudayaan jasmaniah (material culture) maupun kebudayaan rohaniah (spiritual culture). Hanya unsur-unsur kebudayaan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakatlah yang dapat bertahan.

Salah satu contoh, kerito surong hasil teknologi masa lalu sebagai alat transportasi untuk mengangkut hasil bumi masyarakat, sekarang tidak mungkin lagi dipaksakan untuk digunakan dengan alasan pelestarian kebudayaan daerah. Demikian pula dengan kebudayaan rohaniah seperti tradisi menyerang kelompok lain ketika anggota kelompoknya merasa terganggu oleh salah satu anggota kelompok lain tersebut, tidak layak lagi dipertahankan karena kita sudah memiliki sistem hukum pidana.

Sebaliknya unsur-unsur kebudayaan tertentu, seperti konsepsi gotong royong dalam masyarakat Indonesia masih tetap relevan untuk dipertahankan, karena pada hakikatnya manusia itu tidak dapat hidup tanpa bekerja sama dengan orang lain. Dalam implementasinya masih perlu terus dibina, supaya budaya ini benar-benar berfungsi sebagai kekuatan pendorong pembangunan masyarakat. Budaya ini juga dapat mengurangi sikap ketergantungan kepada pemerintah. Pada masyarakat tertentu, pembangunan jalan setapak di lingkungan permukiman sudah dapat dikerjakan sendiri secara swadaya. Bandingkan dengan masyarakat kita di Babel ini, pembangunan kakus umum saja minta bantuan kepada orang asing melalui Proyek P2D!

Berdasarkan perubahan dan perkembangan kebudayaan tersebut, maka fungsi kebudayaan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu (1) kebudayaan sebagai tuntunan; dan (2) kebudayaan sebagai tontonan.

Kebudayaan yang berfungsi sebagai tuntunan adalah kebudayaan rohaniah berupa antara lain norma-norma, nilai-nilai kemasyarakatan, tata kelakuan, religi, kesenian yang mengandung unsur religi, filsafat, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan.

Sedangkan kebudayaan yang dapat berfungsi sebagai tontonan adalah kebudayaan fisik baik yang lama maupun baru, seperti benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala; bangunan-bangunan baru berteknologi mutahir; kesenian; adat-istiadat yang unik; dan lain-lain.

Penggolongan ini tidak bersifat mutlak. Bisa saja salah satu unsur kebudayaan berfungsi sebagai tuntunan sekaligus sebagai tontonan. Tarian yang merupakan rangkaian ritual keagamaan tertentu, pada dasarnya berfungsi sebagai tuntunan bagi penganutnya, namun karena keunikannya menarik untuk ditonton oleh orang di luar agama tersebut.

Apabila kebudayaan dapat dikemas dalam bentuk tuntunan sekaligus tontonan, mungkin citra instansi yang mengurusnya akan berubah dari sekadar “Dinas Pengeluaran” belaka. Di era otonomi daerah ini masing-masing Pemda leluasa menentukan sikap dalam pembentukan dinas-dinas daerah.
Sebagai perbandingan, daerah-daerah yang maju bidang kebudayaan, pendidikan, dan pariwisatanya, seperti DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Bali, sejak masa Orde Baru pun sudah membentuk Dinas Kebudayaan terpisah dari Dinas Pendidikan. Kalau Pemda ingin mewujudkan kebudayaan sebagai tuntunan sekaligus tontonan akan lebih sesuai bila dibentuk Dinas Kebudayaan dan Pariwisata!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar