Powered By Blogger

Minggu, 10 Januari 2010

Budaya Bangka Belitung (BABEL) - Tinjauan Lain Terhadap Budaya "Dak Kawa Nyusah"

Dinamika budaya luar tentu tak begitu mudah untuk menggeser karakter masyarakat adat di sebuah wilayah termasuk di wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung karena karakter tersebut sudah terbentuk sejak sekian abad lalu dan itu telah menjadi ketahanan budaya masyarakatnya.

Akar budaya itu tak mungkin bisa tercerabut begitu saja jika tidak ada pengaruh kekuatan politis dan kekuasaan yang lebih dominan. Apalagi pasal 32 UUD 45 yang diamanden tahun 2002 telah mempertegas tentang hak-hak masyarakat adat Indonesia yang pluralistis dan perlu di jaga serta di hormati sebagai Kebhinekatunggalikaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Orang Bangka mengenal istilah “Budaya Dak Kawa Nyusah” ini yang menjadikan stigma buruk dari pandangan pendatang, sebenarnya ada apa dengan budaya tersebut? Dak kawa nyusah berarti kesannya begitu malas dan sangat tidak kreatif. Dan stigma ini tidak kondusif dalam hubungan sosial, itu terkesan akan merendahkan karena pandangan tersebut mengarah pada kinerja yang tidak produktif guna menunjang penghidupan agar tetap eksis.

Sedangkan esistensi adalah tolak ukur dalam kehidupan. Maka kreativitas dan produktivitas adalah sebuah kewajiban yang mesti terpenuhi hingga peradaban bisa maju dan berkembang dengan baik.

Karakter “Dak Kawa Nyusah” dalam tolok ukur ekonomi jelas tak mendukung sebuah kemajuan. Tapi sesungguhnya bagaimana ini terbentuk dan apa manfaatnya bagi masyarakat adat yang hidup dengan makna itu. Bangka Belitung pada awalnya adalah wilayah yang kaya dengan sumber alamnya; kekayaan hutan, mineral galian, bahkan hasil lautnya. Penduduknya yang bermula hidup dari pertumbuhan secara natural begitu menghormati wilayah penghidupan mereka hingga hukum adat berlaku guna menjaga keseimbangan kehidupan antara alam dan penggunanya. Misalnya penggunaan tanah hutan wilayah untuk ladang akan berbeda dengan penggunaan hutan wilayah cadangan. Begitupun terhadap hutan lindung yang melindungi hewan buruan akan berbeda dengan hutan yang melindungi wilayah sungai sebagai sumber air serta penghidupan habitatnya.

Oleh aturan itulah membuat pola hidup masyarakat menjadi tentram hingga terkesan “Dak Kawa Nyusah” karena penghidupan atau mata pencaharian mereka sudah diatur olah sistem itu sedemikian rupa sehingga tak ada persaingan yang perlu dikejar, hidup sudah saling berbagi, menghargai setiap wilayah penghidupan, hubungan sosial terjaga dengan saling membantu dan bergotong royong. Masyarakat dalam pola ini takkan mendapatkan kesusahan hidup. Semua menjadi serba mudah untuk didapat. Alam yang kaya dengan penduduk yang sedikit serta aturan adat yang berjalan tertib, hidup jadi demikian santai dan tenang! Karena itu, tidak ada dalam sejarah Bangka Belitung dilanda krisis ekonomi, sosial, apalagi rasis!

Pola hidup itu tetap bertahan sampai masuknya kolonial Belanda dengan menggerus bahan galian timahnya. Modernisasi terus bergulir, budaya luar beritegrasi ke dalam masyarakatnya hingga pola pikir dan tradisi pun berangsur berubah dikarenakan pengaruh tersebut. Masyarakat mulai dihadapkan pada pola hidup persaingan yang tidak rajin takkan dapat hidup, Belanda dengan kebijakannya meminggirkan aturan adat terhadap hutan dan tanah karena kepentingan terhadap timahnya. Pola hidup dari pertanian dan hasil hutan serta nelayan beralih menjadi pekerja tambang timah.

Maskapai perusahaan pertambangan timah di Bangka Belitung dalam dekade yang cukup lama dapat meninabobokan karyawannya dengan “kemakmuran” hingga menimbulkan budaya “Dak Kawa Nyusah” dalam pola konsumtif karena terus tergantung dari gaji dan ransum serta pasilitas maskapai perusahaan timah tersebut. Hingga kemudian pada dekade berikutnya ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, menyebabkan para karyawan PT Timah di PHK, mereka yang tergantung dengan pola itu menjadi bingung! Maka kran tambang inkonvensional di Bangka Belitung dibuka bebas.

Pola hidup ketergantungan pada sumber daya alam tersebut, bermula pada pertumbuhan masyararakat adat sebelum timah digali. Pola tersebut tentu menjadi baik karena alamnya masih terjaga dengan kekayaan yang melimpah. Bagaimana pada dekade masa kini, ketika alam tidak lagi memberikan penghidupan pada masyarakatnya. Masihkah kita akan terus berpegang dalam pola “ndak kawa nyusah” dan terus hidup tergantung pada sumber daya alam. Adakah alternatif lain seperti pola hidup yang tumbuh dan berkembang di negara-negara yang masyarakatnya tidak bersandar pada potensi yang mengeksploitasi sumber alamnya?

Bagaimana pemikiran kita saat ini tentang cara pandang seperti itu? Ketika kita mengenal budaya kita selalu dalam ukuran tertentu karena tolok ukur dari sudut pandang kita saling berbeda, akibatnya kita tidak melihat budaya adalah sesuatu yang komprehensif artinya budaya sesungguhnya tidaklah berdiri sendiri. Ia adalah komplesitas yang saling terkait dengan semua aspek kehidupan yang melingkupinya maka sesungguhnya budaya adalah hidup sosial keseharian kita yang kita beri arti dan makna.

Maka sejauh mana identitas sosial budaya Bangka Belitung akan bertahan ketika kita telah memberinya dengan arti dan makna yang saling berbeda? Identitas sosial budaya masa lalu dan masa kini tentu menjadi berbeda bentuknya meski memiliki tujuan yang sama yaitu membangun peradaban. Kita bisa melihat bagaimana dulu rumah adat dibuat dan difungsikan, tapi pada masa kini bagaimana pula kantor-kantor pemerintahan dibangun dan diberdayakan. Jika dulu kita lihat bagaimana hutan dijaga untuk keseimbangan hidup dan penghidupan, tapi kini bagaimana pula hutan digerus untuk kepentingan pihak tertentu.

Jika dulu, sebagaimana gotong royong di budayakan, tapi kini bagaimana pula budaya kesetiakawanan sosial dicanangkan. Jika dulu keramahan adalah kesantunan terpuji, tapi kini bagaimana pula jika kemarahan adalah kelumrahan. Jika dulu budaya kerja keras yang halal adalah sebuah martabat, tapi kini bagaimana pula budaya korupsi adalah sebuah gengsi dan prestise.

Budaya kini, dalam arus global yang tak mungkin terbendung. Mampukah kita mempertahankan budaya kita dalam arti yang sesungguhnya; yaitu memberinya makna agar tujuan hidup memiliki sebuah nilai kehormatan baik secara horizontal dan vertikal?


Written By : Ian Sancin Direktur Bidang Lintas Sosial Budaya di Begalor.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar